Ekonomi Orang Papua Dulu dan Kini
Oleh: Julian Howay
Wartawan dan pegiat sosial. Anggota departemen pendidikan dan kajian Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P).
Berawal dari sejarah geologinya. Sebelum zaman
pencairan es yang terjadi sekitar 80.000-12.000 tahun lalu, pulau Papua,
benua Australia dan Pulau Tasmania membentuk satu benua besar bernama Daratan Sahul (Sahul Island).
Sejarah geologi inilah yang menyebabkan ada kemiripan komposisi mineral
batuan, bentang alam, iklim, hingga flora dan fauna di antara
pulau-pulau yang semula membentuk Daratan Sahul.
Melalui sejumlah penemuan arkeologi, diperkirakan
manusia telah menghuni Benua Sahul sekitar 50.000-25.000 tahun lalu.
Nenek moyang mereka adalah kelompok manusia prasejarah yang diperkirakan
keluar atau berasal dari pusat peradaban awal umat manusia di Afrika,
dengan melalui jalur panjang hingga sampai ke Benua Sahul. Mereka adalah
kelompok manusia yang berasal dari ras Oseanik Negritos, ras
Carpetarians, ras Murrayan dan ras Melanesia Purba. Kelompok manusia
yang datang secara bertahap tersebutlah yang membawa kebudayaan neolitik
dan mesolitik. Mereka inilah yang kemudian menjadi nenek moyang
penghuni benua Australia (orang Aborigin), pulau New Guinea hingga Pulau
Tasmania.
Setelah zaman pencairan es berlalu, pulau Papua
tetap menjadi bagian dari planet bumi dengan kondisi geografis yang
menampakkan kerumitan untuk di jelajahi. Pulau ini memiliki panjang
sekitar 2.700 km dan lebar 900 km, dengan luas keseluruhan mencapai
892.000 km persegi, sehingga menjadi pulau terbesar kedua di dunia
setelah Greenland (dikuasai kerajaan Denmark) dan terbesar pertama untuk
kategori pulau berpenduduk.
Dalam banyak hal pulau New Guinea (Papua) adalah
wilayah istimewa yang sejak berabad-abad lamanya terselubung misteri.
Karena itu dianggap sebagai pulau besar yang belum dikenal seperti
halnya benua Australia di selatan (tera Australia incognita), terutama
bagi para penjelajah dari luar. Kisah-kisah awal mengenai pulau ini
bagai dongeng yang menjadi buah bibir orang.
Pada abad VI dan VII Sesudah Masehi, pulau ini
kemudian dikenal oleh para pedagang dan pelaut Persia, Gujarat dan India
sehingga mereka menyebutnya “Dwipanta” atau “Samudranta”, yang berarti
“Ujung Samudera” atau “Ujung Lautan”. Selanjutnya di abad VIII, seorang
pedagang China bernama Chou Yu Kuan menyebut pulau ini dengan nama
“Tungki”, sebagai daerah asal rempah-rempah dan hasil hutan. Nama
lainnya “Janggi”, yang juga berarti wilayah yang dihuni orang-orang
berkulit hitam.
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa,
pedagang-pedagang Majapahit, Cina, Gujarat, dan India lebih dulu singgah
di Papua. Bangsa Eropa pertama yang singgah di Papua adalah bangsa
Portugis yang kemudian disusul oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Faktor pendorong adanya penjelajahan dan penemuan benua baru itu
sesungguhnya dipengaruhi oleh usaha mencari emas, rempah-rempah,
kejayaan dan penginjilan Kristen atau yang dikenal dengan spirit 3G (Gold, Glory dan Gospel).
Penjelajahan itu kemudian membuat pelaut Portugis
Jorge de Meneses menyebut pulau ini dengan nama “Papua”. Penamaan ini
diketahui dari catatan Antonio Figa Veta, seorang juru tulis pada
pelayaran Magellhaens. Nama itu diketahui Figa Veta saat singgah di
Tidore di mana bahasa Tidore “Papo Ia” artinya “Tidak Bergabung” atau
“Tidak Bersatu”, sedangkan bahasa Melayu artinya “Rambut Keriting”.
Kemudian Alvero de Saavedra pada tahun pada 1528 menyebutnya “Isle del
Oro” atau “Pulau Emas”. Pada abad XVI sesudah masehi atau antara tahun
1500-1800, Antoneo D’Abreuw pada 1511 dan Francesco Serano pada 1521
menyebut pulau ini dengan nama “Os Papuas” atau “Ilha de Papo Ia”.
Selanjutnya pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes
pada abad XVI menyebut pulau ini dengan nama Nova Guinea” atau “Guinea
Baru” karena penduduknya mirip orang-orang Guinea, sebuah wilayah eks
koloni Portugis yang pernah ia singgahi sebelum tiba di Papua. Nama ini
pula yang kemudian diadopsi Belanda yang menyebut Papua sebagai “Nieuw
Guinea” dari istilah Spanyol “Nova Guinea”.
Dari pulau besar ini nantinya sekitar 40 persen
atau hampir separuhnya pernah berada di bawah kolonisasi Belanda, yang
dimulai secara teratur dan resmi pada tahun 1898 (Joh Rauws, Onze ZendingsVelden:1919,2).
Sedangkan bagian yang lain dari pulau ini pernah dikuasai Inggris
(bagian selatan) dan Jerman (bagian utara). Namun saat meletus Perang
Dunia I di tahun 1914, Inggris melalui Australia berhasil mengambil alih
bagian utara yang tadinya di duduki Jerman.
Seiring berjalannya waktu, pulau Papua terbagi
menjadi dua wilayah negara yang berbeda: Papua New Guinea (PNG) di
sebelah timur yang memperoleh kemerdekaannya dari Inggris di tahun 1975,
memiliki luas wilayah 476.000 km persegi. Sedangkan di sebelah barat
adalah West Papua (Papua) dengan luas 416.000 km persegi atau seluas 3,5
kali luas pulau Jawa. Papua adalah wilayah berkas koloni Belanda yang
kemudian menjadi wilayah kolonisasi Indonesia sejak 1 Mei 1963.
Pembagian kekuasaan atas Pulau Papua antara
Belanda dan Inggris semula didasarkan pada Perjanjian Den Haag, 16 Mei
1895. Perjanjian itu kemudian ditegaskan kembali dalam dua perjanjian:
antara Pemerintah Indonesia dan Australia (1974) maupun Pemerintah
Indonesia dan PNG pada 1984, tanpa mengubah kesepakatan awal (J. R
Mansoben, 1995:26).
Corak Produksi
Identifikasi corak produksi ibarat kompas yang
menentukan ke mana arah suatu masyarakat bangsa berkembang. Atau ibarat
mikroskop yang dapat melihat ukuran-ukuran bakteri (makluk mikroskopis)
yang menjadi penyebab penyakit dalam tubuh manusia. Demikian halnya bila
hendak menilai tahapan perkembangan manusia Papua, perlu diidentifikasi
corak produksinya.
Meskipun manusia Papua diperkirakan telah menghuni
pulau Papua sekitar 50.000-25.000 tahun silam dan telah bersentuhan
dengan para penjelajah dari luar pada abad VI dan VII, namun hal itu
tidak terlalu mempengaruhi corak produksi mereka pada masa-masa
pra-kapitalisme. Demikian pula hingga memasuki era kapitalisme yang
dibawa oleh kolonisasi Belanda hingga Indonesia.
Pada masa pra kapitalisme, corak Produksi Masyarakat Papua adalah Komunal Primitif atau Masyarakat Tribal (tribal society) yang sedang berdialektika dan merangkak menuju corak produksi Masyarakat Perbudakan (slavery society),
sebagai sebuah tatanan sosial peradaban baru. Dalam corak produksi
masyarakat tribal, pembagian kerja masyarakat ini masih bersandar pada
pola-pola pembagian kerja tradisional yang ada dalam keluarga. Cara
mendapatkan makanannya, misalnya, dimulai dari tingkat terendah:
menangkap ikan di sungai, beternak sederhana, memelihara binatang buas
seperti babi hutan, ayam liar, meramu sagu, dan sebagainya hingga sampai
yang tertinggi bercocok tanam. Pola ini juga masih identik dengan ciri
masyarakat subsisten Papua dewasa ini.
Struktur masyarakat tribal ini terdiri dari
keluarga, kepala keluarga laki-laki dan budak (terutama pada suku-suku
di pesisir pantai utara yang sudah menerapkan kepemilikan budak di
masa-masa pra kapitalisme). Sementara pada corak Produksi Masyarakat
Perbudakan ditandai dengan sistem sosial kepemilikan budak. Pola ini
umumnya pernah terjadi di Eropa dalam tahapan perkembangan masyarakatnya
(Karl Marx, The German Ideology).
Sedangkan tipe perbudakan di Papua lahir sebagai
akibat kontradiksi yang terjadi dalam sistem sosial masyarakatnya.
Misalnya karena adanya konflik (perang suku) untuk menguasai sumber daya
yang tersedia, motif kekayaan, pengaruh politik, wanita, hingga
perluasan wilayah kekuasaan. Konflik kemudian menyebabkan penundukan
klan yang satu oleh klan yang lain melalui perang suku, di mana klan
yang kalah dijadikan budak, dilucuti hak-haknya sebagai manusia merdeka.
Perbudakan juga bisa lahir akibat seseorang yang tidak mampu membayar
hutang sehingga harus menyerahkan dirinya sebagai hamba (babu, pesuruh,
pembantu) untuk melunasi hutang tersebut. Status itu dapat melekat
seumur hidup atau kemudian para budak dapat menjadi manusia merdeka
setelah ditebus (penebusan).
Pada fase masuknya era kapitalisme di Papua, dapat
dikatakan bahwa corak produksi masyarakat Papua umumnya juga tidak
terlalu banyak berubah. Sebab sebagian besar masyarakat Papua masih
melakukan aktivitas yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan
hidupnya sebagai masyarakat subsisten (berkebun, meramu, nelayan,
beternak, menangkap ikan di sungai dan lain-lain). Hanya sebagian kecil
saja yang telah beralih ke profesi pegawai (birokrat), buruh atau kaum
pemilik modal (kapital) yang notabene telah menjadi janin borjuasi yang
masih lemah produktivitasnya meski telah memiliki alat-alat produksi.
Dengan begitu dalam fase sejarah perkembangan
nenek moyang orang Papua hingga hari ini, dapat dikatakan bahwa orang
Papua telah mengalami tahapan perkembangan kebudayaan (peradaban) yang
begitu lambat (lama) dibanding masyarakat Eropa atau Asia lainnya yang
sudah berkembang corak produksinya sekian ratus tahun bahkan ribuan
tahun. Di Eropa Barat misalnya, selama 300 tahun telah terjadi suksesi
atau pergantian sistem sosial dalam masyarakatnya, dari tahapan
perkembangan Masyarakat Komunal Primitif (Masyarakat Tribal), menuju
fase Masyarakat Perbudakan, lalu Masyarakat Feodal hingga menuju fase
Masyarakat Kapitalis saat ini.
Sementara di Papua tahapan perkembangan
masyarakatnya tidak berlangsung demikian. Yang terjadi adalah manusia
Papua dengan corak produksi masyarakat komunal (tribal society) dipaksa
melompat masuk ke tahapan corak produksi Masyarakat Kapitalis tanpa
melalui fase corak produksi Masyarakat Perbudakan dan Masyarakat Feodal
secara alamiah dan teratur. Hal inilah yang sering disebut sebagai
lompatan peradaban (the jump of the civilization).
Memang dalam teori kebudayaan, lompatan peradaban
dapat saja menghasilkan penyesuaian-penyesuain (adaptasi) sebagai proses
dialektika kebudayaan untuk menghasilkan kebudayaan baru dari hasil
interaksi kebudayaan lama dengan kebudayaan luar. Namun pada masyarakat
yang mengalami lompatan peradaban secara tidak wajar, biasanya akan
mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock).
Dengan ekses negatifnya berupa keterasingan dan marginalisasi secara
psikologis maupun fisik. Ini terjadi karena di dalam diri mereka telah
tertanam sindrom inferioritas: perasaan minder, inlander, tidak mau
bersaing, mengalah, pasrah pada keadaan, merasa kalah sebelum bersaing
hingga takut mengambil risiko untuk maju.
Pemikir Frantz Fanon dalam analisisnya menyebutkan
bahwa perasaan dan sikap-sikap inferioritas dapat terjadi akibat
suasana penindasan (kolonisasi), penguasaan, eksploitasi, penghisapan
dan penundukan oleh bangsa (ras) atau manusia yang merasa diri lebih
dominan (superior) terhadap manusia yang lemah dan dikuasai. Pihak yang
lemah-lah yang kemudian menjadi subjek inferior terhadap pihak yang
superior. Lambatnya perkembangan tenaga produktif masyarakat Papua
inilah yang, menurut saya, bisa menjelaskan mengapa begitu lambatnya
tahapan perkembangan kebudayaan orang Papua hingga hari ini.
Sumber: indoprogress.com
Saturday, January 9, 2016 - 19:15
Kategori Rubrik:
Komentar
Posting Komentar