Jalan Misi Gereja Papua
yap.com – Gereja selalu membantu orang Papua beradaptasi dengan gangguan dunia luar. Juga meningkatkan kehidupan jasmani umatnya.
Hutan nan lebat dan arus sungai deras di Tanah Papua tak henti
menantang para misionaris untuk dapat sampai ke dalam. Jalan berbatu dan
licin tak menyurutkan langkah mereka bertatap muka dengan masyarakat
asli pedalaman.
Saat akhirnya sampai di pedalaman, misionaris-misionaris ini
mendapati masyarakat Papua yang hidup terpencil dengan cara hidup
homogen. Berburu dan mengambil hasil bumi dari hutan merupakan cara
masyarakat asli pegunungan Papua menyambung hidup. Tak pernah terlintas
dalam benak masyarakat asli bertatap muka dengan orang dari daerah lain.
Bagi mereka, kedatang an misionaris asing bak dongeng yang ceritanya
akan diulang turun-temurun.
Berdasarkan catatan sejarah yang ditulis Pastor Haripranata dalam
Berlayar ke Timur, misi Gereja Katolik di Papua (dulu disebuat Irian
Barat) berkait erat dengan terbentuknya Prefektur Apostolik Batavia pada
tahun 1807. Tak berjarak lama, tahun 1859 para pastor Yesuit pertama
tiba di pulau Jawa. Mgr Adam Charles Claessens yang ketika itu diangkat
menjadi Vikaris Apostolik Batavia berkesimpulan bahwa misi nusantara
harus diperluas.
Sang Vikaris lantas mengambil langkah berani. Ia mengutus Misionaris
Serikat Yesus (Jesuit) untuk mulai memikirkan kemungkinan membuka misi
di wilayah Irian Barat. Serikat Yesus lalu memulai mencoba meretas
kemungkinan ini dengan mulai membuka karya di Tual, Maluku, di sebelah
timur Irian pada 1888. Pastor Yohanes Kuster SJ menjadi perintis misi di
tempat ini. Saat itu, bagi sebagian besar misionaris asing, wilayah
Irian Barat masih jarang terdengar. Dalam setiap diskusi, nama Irian
Barat pun jarang munculr.
Mendekati Papua
Keberanian Misionaris Jesuit pun berbuah. Dari Tual Pastor Kuster mengirim Pastor C. van der Heyden SJ untuk berlayar ke Irian Barat. Dalam perjalanan ini kapal yang ditumpanginya terbakar di Pelabuhan Skroe, Fak Fak. Ia merupakan misionaris pertama yang menetap di Irian Barat selama tiga minggu.
Keberanian Misionaris Jesuit pun berbuah. Dari Tual Pastor Kuster mengirim Pastor C. van der Heyden SJ untuk berlayar ke Irian Barat. Dalam perjalanan ini kapal yang ditumpanginya terbakar di Pelabuhan Skroe, Fak Fak. Ia merupakan misionaris pertama yang menetap di Irian Barat selama tiga minggu.
Misi di Irian Barat dilanjutkan pada tahun 1891 saat pemerintah
memberi izin kepada Gereja untuk bekerja di sana. Vikaris Apostolik
Batavia mengutus Pastor Cornelis Le Cocq d’Armandville SJ ke Irian
Barat. Ia mendarat di pada 22 Mei 1894. Sejak itu, ia lalu mulai
merintis sekolah dengan 16 murid.
Sejarah Gereja di Nusantara sampai di sebuat titik penting saat
Vikariat Apostolik Batavia dipecah menjadi dua wilayah pada 22 Desember
1902. Wilayah sebelah timur Sulawesi dijadikan Prefektur Apostolik
Nederland Nieuw Guinea. Karya di wilayah ini kemudian diserahkan
imam-imam SJ kepada imam dari Misionaris Hati Kudus (MSC). Di Langgur,
Pastor Serikat Yesus menyerahkan karya kepada imam-imam MSC. Segera
setelah itu Misionaris Keluarga Kudus tiba di Merauke dan mendirikan
stasi pertama di Irian Barat tahun 1905.
Kepulauan Kei merupakan kedudukan misi terdekat misi Katolik dan
melalui daerah inilah para imam tiba di Papua. Saat itu, Ordo Jesuit
sebagai penginjil di New Guinea yang berkedudukan di Kei telah
digantikan MSC. Imam-imam dari kelompok ini telah mewartakan ajaran
agama Katolik di pesisir selatan Irian Barat selama setengah abad.
Selama masa penjajahan Belanda, para imam Katolik bekerjasama dengan
pejabat-pejabat pemerintah dalam upaya untuk menghilangkan
praktik-praktik kanibalisme dan ritual bersetubuh tidak wajar. Hal ini
di antaranya menyebabkan ketidaksuburan pada perempuan Suku Marind serta
menyebabkan angka kematian tinggi.
Para Imam Hati Kudus (MSC) yang ahli bahasa dan memiliki perhatian
terhadap budaya ini memulai karya yang luar biasa bersama Suku
Marind-anim yang dikenal sebagai pemburu kepala yang ganas dan
terorganisir di Merauke. Karya ini di kemudian hari, membuka jalan
lapang bagi antropolog kelas dunia asal Swiss Paul Wirz dan van Baal
dari Belanda untuk mengadakan penelitian di Irian Barat.
Berkat minat dan tulisan-tulisan dari sejumlah imam Katolik Roma
pertama mengenai entnografi Suku Asmat. Maka data mengenai suku-suku
asli cukup lengkap pada waktu itu. Dalam catatan ini, terungkap bahwa
perutusan Katolik Roma cukup toleran terhadap sebagian besar budaya
Asmat. Misalnya seperti rumah panjang bagi kaum lelaki atau bujang.
Misi Dipisahkan
Tepat tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Jendral Belanda Idenburg memisahkan area misi Katolik dan Zending Protestan. Aturan tersebut menegaskan setiap kelompok hanya boleh menjalankan misinya di wilayah yang telah ditentukan.
Tepat tanggal 12 Januari 1912 Gubernur Jendral Belanda Idenburg memisahkan area misi Katolik dan Zending Protestan. Aturan tersebut menegaskan setiap kelompok hanya boleh menjalankan misinya di wilayah yang telah ditentukan.
Ketika pecah perang Dunia I sebanyak 90 orang suku Marind menyatakan
dirinya sebagai orang misi. Buah iman semakin terlihat ketika delapan
wanita dan tiga anak perempuan ikut dipermandikan untuk pertama kalinya
dalam sejarah Gereja Irian Barat pada tanggal 7 Juni 1924.
Lima tahun sesudahnya, seorang misionaris Pastor Hermanus Tillemans
MSC mulai berkarya di Kokonao, Irian Barat bagian tengah. Ia adalah
tokoh sentral dalam pembangunan sejarah Gereja di Irian Barat. Lewat
tangannya, ekspedisi dan eksplorasi ke pedalaman untuk menanamkan iman
Katolik dilakukan dengan merintis sekolah-sekolah di daerah Paniai
terjadi.
Namun sepak terjang MSC di pulau cendrawasih ini pun membutuhkan
bantuan. Provinsial MSC kemudian meminta bantuan dari Ordo Fratrum
Minorum (OFM). Permintaan itu disetujui lewat Kongregasi Propaganda Fide
tahun 1936. Pastor Nerius Louter OFM dan Pastor Ph.Tetteroo OFM pun
menjadi Fransiskan pertama yang menginjak Kaimana, Irian Barat.
Satu sumbangan mutiara imam-imam Saudara Dina di Irian Barat adalah
ide untuk membuka isolasi orang-orang pedalaman dengan melakukan
penerbangan dengan pesawat ke sana. Ide ini lahir berkat pengalaman
Pastor Misael Kammerer OFM. Ia melihat pentingnya sarana transportasi
yang memadai guna melayani umat di pedalaman Irian Barat. Usaha ini
akhirnya menghasilkan maskapai penerbangan pertama di Irian yang
dimiliki oleh empat keuskupan, yakni Association Mission Aviation (AMA).
Maskapai ini dimulai dengan sebuah pesawat hibah pada tahun 1956.
Peninggalan MSC
Para imam MSC sangat peduli dengan budaya masyarakat asli Papua. Pada tahun 1938, Pastor Drabbe MSC dari Uta dipindahkan ke Kokonao. Setahun setelah itu, ia mempelajarai bahasa Mimika. Tak lama, ia dipindahkan lagi ke daerah Mappi dan dalam beberapa bulan saja menyusun kamus kecil Bahasa Yakai. Berbekal kefasihan berbahasanya, ia menerjemahkan buku Katekismus, buku doa, sejumlah cerita dari Kitab Suci ke Bahasa Yakai.
Para imam MSC sangat peduli dengan budaya masyarakat asli Papua. Pada tahun 1938, Pastor Drabbe MSC dari Uta dipindahkan ke Kokonao. Setahun setelah itu, ia mempelajarai bahasa Mimika. Tak lama, ia dipindahkan lagi ke daerah Mappi dan dalam beberapa bulan saja menyusun kamus kecil Bahasa Yakai. Berbekal kefasihan berbahasanya, ia menerjemahkan buku Katekismus, buku doa, sejumlah cerita dari Kitab Suci ke Bahasa Yakai.
Selain itu, para imam MSC turut mendorong tradisi mengukir. Lantas,
dorongan ini membawa berkat dengan adanya produksi karya asli Suku Asmat
yang bertahan hingga hari ini. Tidak berhenti di situ, Gereja juga
membantu Program Seni Suku Asmat berkerjasama dengan Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimulai pada tahun 1968. Dua tahun kemudian,
Uskup Agats Alphonsus Augustus Sowada OSC memulai pembangunan museum
seni, budaya, dan perkembangan suku Asmat di Agats. Ia juga membuat
lomba mengukir yang hingga hari ini tradisi itu berlanjut. Sejumlah uang
hadiah yang diterima dalam pelelangan diberikan kepada para pengukir
agar tetap semangat menghasilkan ukiran kelas dunia.
Keterbukaan Gereja Katolik akan inkulturasi dikarenakan terdapat
keyakinan bahwa Tuhan datang untuk semua orang dan orang-orang bukan
Katolik pun berhak memperoleh keselamatan. Oleh karena itu, terdapat
ruang rasa penghargaan yang lebih besar terhadap kebudayaan tradisional
Papua dan kepercayaan tradisional mereka. Pola berpikir ini pula yang
mengantarkan Gereja Katolik untuk selalu kembali kepada kecenderungan
membantu orang-orang Papua.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Papua, pihak Gereja telah
membangun sekolah-sekolah di lokasi-lokasi pusat dan secara bertahap
mengenalkan pendidikan. Kesehatan juga menjadi perhatian utama dengan
awal pemberantasan penyakit kelamin dan penyakit kulit (framboesia),
bersama dengan gerakan untuk menggalakan kebersihan khususnya air minum.
Komentar
Posting Komentar