Mencermati
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan membandingkannya
dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi tersebut
menunjukkan ada sesuatu yang tidak sinkron. PDRB menunjukkan seluruh
nilai barang dan jasa yang dihasilkan di satu wilayah dalam kurun waktu
tertentu, baik oleh faktor-faktor produksi setempat atau asing. Semakin
tinggi PDRB menunjukkan kapasitas perekonomian di daerah tersebut.
Sementara IPM menunjukkan kualitas hidup penduduk yang ada di satu
wilayah. Nilai IPM tersusun dari komponen pendidikan (diukur rata-rata
lama sekolah dan angka harapan lama sekolah), kesehatan (dilihat dari
usia harapan hidup), dan standar hidup (diukur dari produk nasional
bruto per kapita). Semakin tinggi IPM menunjukkan kualitas kesehatan,
pendidikan, dan perekonomian masyarakat semakin baik. Data BPS tahun
2016 menunjukkan bahwa PDRB Papua adalah 142,47 triliun rupiah. Jika
dibagi rata untuk seluruh penduduk Papua yang berjumlah sekitar 3,6 juta
jiwa, maka tiap orang rata-rata mendapat 55,61 juta rupiah. Ini jumlah
yang sangat banyak. Namun, bila dilihat dari kualitas hidup penduduknya,
Papua tergolong paling rendah di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari
nilai IPM Papua pada tahun 2016 sebesar 0,58, jauh lebih rendah daripada
rata-rata IPM Indonesia pada tahun tersebut sebesar 0,70. Hal ini
menunjukkan perekonomian Papua maju (dilihat dari besarnya nilai barang
yang dihasilkan) namun hasil-hasil produksi alam Papua tidak banyak yang
kembali lagi ke masyarakat setempat. Karena konsep PDRB meliputi
faktor-faktor produksi milik lokal dan asing, maka dapat diduga
keuntungan atas hasil-hasil alam Papua kebanyakan dikirim ke daerah lain
atau negara lain. Dan ini adalah karakteristik daerah-daerah yang kaya
sumber daya alam. Karena pengelolaan sumber daya alam membutuhkan
alat-alat dan teknologi canggih, maka akan ada banyak investor dari luar
daerah atau luar negeri yang datang untuk mengekspoitasi sumber daya
alam daerah tersebut. Meski ada kontribusi perusahaan kepada pemerintah
setempat, namun tentu saja proporsi terbesar keuntungan akan dikirim ke
kantor pusat perusahaan tersebut. Hingga kini dampak nyata yang dapat
dilihat adalah-meski di atas kertas pendapatan per kapita masyarakat
Papua tergolong tinggi-ternyata kualitas pendidikan dan kesehatan mereka
masih sangat rendah. Ditambah lagi, adanya masalah kesehatan dan gizi
buruk di awal tahun 2018 ini menjadi bukti nyata bahwa masalah di
masyarakat seperti gunung es. Terlihat di puncaknya saja, tapi bisa jadi
ada masalah yang lebih kronis di Papua. Masalah gizi buruk selain
disebabkan oleh kesulitan ekonomi juga disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki orang tua tentang nutrisi. Hal ini diperparah
dengan tidak adanya intervensi dari pihak luar untuk memberi informasi
kepada keluarga tersebut. Saat anak sudah dalam kondisi berbulan-bulan
tanpa nutrisi memadai, pada hakikatnya mereka semakin dekat dengan
kematian. Solusinya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan
kesehatan di Papua. Membangun infrastuktur jalan, telekomunikasi,
bangunan sekolah, puskesmas, atau rumah sakit relatif di provinsi dengan
luas wilayah lebih dari 300 ribu kilometer persegi seharusnya dapat
dengan mudah dan cepat dilaksanakan. Tapi tantangan yang sebenarnya
adalah perlunya banyak pengajar dan tenaga kesehatan yang siap bertugas
di Papua. Gedung sekolah menjadi percuma jika tak ada guru. Puskesmas
dan rumah sakit menjadi tidak ada artinya jika tidak ada dokter,
perawat, atau bidan yang siap siaga. Maka, Papua butuh lebih banyak
sumber daya manusia yang siap ditempatkan di lokasi-lokasi terpencil.
Pada saat yang sama, anak-anak muda Papua harus didorong untuk
mendapatkan pendidikan tinggi agar mereka kelak dapat kembali membangun
kampung halamannya sendiri. Alam Papua memang penuh tantangan. Berbagai
kendala yang muncul seharusnya tidak boleh menjadi penghalang bahwa
Papua tidak boleh dibiarkan tertinggal; karena Papua adalah juga bagian
dari Indonesia. Thomas Soseco-Universitas Negeri Malang
Komentar
Posting Komentar