Kondisi Papua Terkini: Berangkat Dari Kasus Asmat Dr. B. Widharyanto Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Makalah diseminarkan di IPB Bogor)

    
  Mitos yang mengakar kuat dalam kehidupan Suku Asmat adalah Fumiripits, sang pencipta yang merasa sendiri di dalam rumahnya yang besar di tengah hutan. Bahwa lingkungan Asmat adalah hutan belantara yang dialiri anak sungai adalah nyata. Bahwa keluarga suku Asmat menggantungkan hidup secara total kepada hasil hutan dengan segala satwa yang menjadi penghuni, termasuk tao(ulat sagu), toaut (kasuari), karaka (kepiting), dsb, juga merupakan hal yang benar.Akan tetapi, bahwa di dalam kesunyiannya Fumiripits kemudian mengukir patung, membuat tifa kemudian menabuhnya, sehingga patung-patung itu menari, meliuk-liuk, dan merubahnya menjadi manusia, yang kemudian mengawali kehidupan pada komunitas yang bersangkutan, adalah sangat ajaib.(Lihat Kaspar Manmak (2008), lahir di Yepem dan sekarang menjadi guru di SD Yepem, Asmat).Tanah ini milik siapa, ya? Mengapa kami menjadi orang asing di kampungku sendiri? Siapa yang harus memperjuangkan nasibku ini? (Majalah Sekolah SD Satu Atap Asmat, Edisi 2 April2013) .

1. Pengantar 
       Apa yang dituliskan oleh Kaspar Manmak(2008), seorangAsmat yang berprofesi sebagaiguru di SD Yepem, salah satu distrik di Kabupaten Agats, Propinsi Papua, adalah mitos yang dia terima dari moyang-moyangmereka melalui tradisi lisan dari generasi ke generasi.Ihwal tentang kepercayaan akan Fumiripits ini masih diteruskan kepada anak-anak mereka sampai sekarang dalam kaitannya dengan cerita leluhur Asmat, walaupun mereka juga sudah mengenal agama mulai dari tahun 1894 melalui misionaris Katolik. 

       Fakta bahwa sebagian besar masyarakat Asmat menggantungkan hidup mereka dari hasil hutan seperti sagu dan segala satwa yang ada seperti tao(ulat sagu), toaut (kasuari), karaka (kepiting), adalah benar. Mereka pergi ke hutan dengan menggunakan perahu kayu (istilah kami perahu lesung) menyusuri sungai-sungai besar yang membelah hutan payau, mengambil sagu, menangkap ikan dan karakasebagai menu keseharian mereka. Mereka tetap mempertahankan tradisi ini hingga sekarang, walapun sebagian dari mereka juga mulai ada yang menanam sayur dan makan supermie, sebagai hasil interaksi dengan para pendatang. Sebagian kecil dari mereka menjadi PNS, baik di kabupaten dan distrik, ataupun menjadi guru swasta dan pedagang kecil-kecilan di pasar tradisional.Namun demikian, sebagai besar masyarakat Asmat masihhidup dalam budaya Meramu dan penuh dengan kesederhaan, tanpa listrik, televisi, Koran, apalagi telepon seluler. 

2. Persentuhan Asmat dengan Dunia Luar 
        Pertemuan budaya Asmat dengan budaya lain mulai terjadi ketika banyak ekspedisi dilakukan orang Eropa di wilayah Pasifik. Mansoben (1995) dan Kaspar Manmak (2008) menjelaskan bahwa kontak dengan dunia luar dimulai tahun 1904. Ekspedisi pertama dan kedua dilakukan oleh Lorentz dan berikutnya oleh Franssen Herderschee. Ekspedisi berikutnya dilakukan tahun 1922 dan 1923. Kesemuanya dalam rangka ekspedisi ilmiah. Ekspedisi lain dilakukan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1904 disusul dengan ekspedisi berikutnya yang kemudian berujung pada pendirian Pos Belanda di Agats tahun 1954. Ekspedisi dalam rangka penyebaran agama juga dilakukan oleh Gereja Katolik, yang menyebarkan agama pada sekitar tahun 1912-an.Pos pertama Gereja Katolik di daerah Asmat dibuka pada tahun 1953 oleh Pastor Zegwaard dan Pastor Welling.Menurut Kaspar Manmak (2008), tanggal 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan Papua pada pemerintah sementara PBB dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Asmat, sebagai bagian dari wilayah Papua, otomatis menjadi bagian dari NKRI. Wilayah Asmat pada saat itu terdiri atas 7 distrik. Empat puluh tahun kemudian, yakni 12 April 2003 Pejabat Bupati Asmat dilantik. Wilayah Asmat resmi menjadi kabupaten dengan 7 distrik, yakni Agats, Akat, Sawa Erma, Atsy, Suator, Fayit, dan Pantai Kasuari, serta 139 kampung, yang kesemuanya terletak di tepi sungai. 

3. Potret Masyarakat Asmat Sekarang 
3.1 Sosial Kemasyarakatan 
Penduduk Kabupaten Asmat berjumlah kurang lebih 90 ribuan orang. Mayoritas (70%) beragama Katolik dan sisanya (30%) beragama Kristen Protestan dan Islam.Sebagian besar penduduk asli Asmat hidup dengan cara meramu, yakni mengambil hasil hutan dan alam untuk menopang hidup mereka sehari-hari, seperti sagu, ikan, udang, kepiting, kayu besi, dan kayu gaharu. Di samping mengambil hasil hutandan alam, sebagian penduduk asli Asmat juga hidup dari mengukir, membuat patung, dan menganyam noken. Mereka menjual karya seni budaya mereka pada para turis asing dan domestik. Sebagian kecil penduduk asli Asmat berprofesi sebagai PNS di kabupaten dan distrik, pegawai bank, dan ada pula yang menjadi guru di sekolah swasta, serta berjualan dalam skala kecil di pasar-pasar tradisional.Pendatang di Asmat sebagian besar berasal dari Etnis Makasar danButon. Sebagian kecil lainnya berasal dari etnis Toraja, Manado, Flores, Kei, Jawa, Batak, dan Cina. Para pendatang, khususnya dari Etnis Makasar, Buton, dan Cina menguasai perekonomian di kota kabupaten dan distrik-distrik. Mereka sebagian besar menjadi pedagang yang menguasai pasar-pasar tradisional dan pemilik toko. Merekalah yang mengendalikan perekonomian di kabupaten Agats.Namun demikian, dari segi sosial kemasyarakatan dan budaya, ada tiga kekuatan sosial dalam masyarakat Asmat, yakni Tetua Adat, Gereja Katolik, dan Pemerintah (Tim USD, 2011). Tetua adatdiwadahi dalam lembaga masyarakat adat Asmat. Gereja Katolik direpresentasikan oleh uskup, para pastor, dan dewan paroki. Sementara itu, pemerintah direpresentasikan oleh bupati, kepala distrik, dan aparat pemerintah (polisi dan koramil). Ketiga kekuatan sosial ini sangat mewarnai dinamika kehidupan masyarakat Asmat.Peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat Asmat seperti festival budaya tidak akan lepas dari peran lembaga masyarakat adat, gereja, dan pemerintah. Peristiwaperseteruan atau peperangan antar kampung atau antarsub rumpunatau dengan pendatang, misalnya, hanya dapat terselesaikan berkat campur tangan ketiga kekuatan sosial ini.Dari segi politik, kebanyakan masyarakat Asmat buta politik. Ini terjadi karena rendahnya pendidikan mereka, sedikitnya akses komunikasi publik seperti telepon, televisi, maupun Koran, serta sulitnya transportasi di seluruh wilayah Asmat. Pilihan politik masyarakat Asmat lebih bergantung pada figure tokoh masyarakat adat mereka. Namun akhir-akhir ini, pragmatisme mulai mempengaruhi kehidupan politik sebagian masyarakat Asmat. Sebungkus supermie saja sudah bisa membeli suara pemilih dalam pemilihan legislatif maupun kepala daerah di sana. Faktanya adalah kekuasaan legislatif di Asmat justru dikuasai oleh para pendatang.Putera-putera Asmat justru minoritas di lembaga legislatif ini.

 3.2 Pendidikan 
Pendidikan di Asmat diadakan oleh swasta dan pemerintah. Jumlah sekolah di Asmat, menurut data terakhir adalah 107 sekolah, dengan rincian 94 SD, 11 SMP, dan 2 SMA(Tim USD, 2011). Swastalahyang pertama kali membuka sekolah-sekolahdi Asmat. Merekaadalah para misionaris Katolik dengan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Yan Smit (YPPK), kemudian pemerintah dengan sekolah-sekolah negeri, dan selanjutnya, Gereja Kristendengan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja Injili. Keberadaan sekolah-sekolah di Asmatbelum mampu menampung keseluruhan jumlah anak usia sekolah. Diperkirakan seluruh SD di Asmat baru menampung 14,2%anak usia sekolah, selanjutnya SMP (2%),dan SMA (0.5%). Persoalan utama pendidikan di Asmat adalah (1) masih rendahnya partisipasi orang tua dan masyarakat dalam menyekolahkan anak mereka dan membiayai pendidikan mereka, yang disebabkan oleh kurangnyakesadaran orang tua dan masyarakat, serta faktorekonomi, (2) tingginya angka putus sekolah karena factor kesehatan, gizi buruk, dan kawin usia dini, (3)minimnya tenaga guru, terutama di distrik-distrik yang jauh dari kota kabupaten.Ketiga persoalan utama ini menyebabkan sebagian besar anak, remaja, dan pemuda Asmat belum terjangkau pendidikan. Sebagian besar dari mereka yang sekolah pun, baru bisa membaca, menulis, dan berhitung ketika mereka memasuki sekolah jenjang SMP.Hanya beberapa puluh saja lulusan SMA di Asmat yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan tinggi di luar Asmat, seperti di Jayapura, Jawa, dan Sulawesi. Itu pun karena beasiswa dari pemda maupun beberapa lembaga donor dari luar Papua. 

3.3 Kesehatan 
Tingkat kesehatan masyarakat Asmat tergolong rendah. Gizi buruk dan malaria merupakandua momokyang menyebabkan tingginya tingkat kematian bagi anak-anak Asmat. Tradisi kawin muda atau usia dini (usia SD) masih banyak dijumpai di kampung-kampung. Kesiapan fisik anak gadis yang belum saatnya melahirkan menyebabkan banyaknya kasus keguguran atau bayi meninggal ketika dilahirkan.Tradisi bagi perempuan Asmat melahirkan anak di hutan juga masih banyak dijumpai. Para perempuan yang hamil tua, pergi ke hutan dengan mendayung perahu, melakukan proses persalinan sendiri di hutan tanpa bantuan siapapun, dan menghadapi resiko kematian bayinya manakala ada kesulitan persalinan. Hal ini merupakan fenomena yang masih berlangsung hingga sekarang. Kenyataan inilah yang menjelaskan betapa sejak bayi saja, anak-anak Asmat sudah sangat rentan dengan kesehatannya.Menurut Linggasari (2008) hampir separo anak-anak yang dilahirkan dalam situasi ini pada akhirnya meninggal karena sakit dan mengalami gizi buruk.Tradisi lain yang dirasa sangat memberatkan adalah kehidupan keluarga di Asmat harus ditanggung oleh perempuan (ibu). Seorang ibu harus mencari sagu di hutan, ikan di sungai, memasaknya untuk seluruh keluarga, tidak peduli dia sakit atau baru saja melahirkan. Kondisi seperti ini menyebabkan kesehatan sebagian besar ibu-ibu Asmat mengalami penurunan kualitas. Ibu-ibu muda Asmat cenderung terlihat kurus dan lebih tua daripadasuami-suami mereka.Akses masyarakatuntuk mendapat pelayanan kesehatan hanya terbatas di satu rumah sakit daerah di kota Agats dan beberapa puskesmas di distrik-distrik.Itu pun dengan jumlah dokter dan petugas kesehatan yang terbatas jumlahnya. Untuk menuju ke kota kabupaten agar mendapat layanan kesehatan, masyarakat dari kampung-kampung di Asmat harus menempuh perjalanan dengan perahu kayu (bagi masyarakat miskin) atau dengan perahu mesin (bagi yang mampu membayar 2 juta). Perjalanan yang ditempuh pun ada yang 2 jam, 4 jam, atau bahkan 6 jam dari kampung terjauh. Untuk kasus penyakit berat yang membutuhkan operasi dan alat medikyang canggih, warga masyarakat yang sakit harus diobati di kota lain di luar Asmat, yakni Timika, yang harus ditempuh dengan pesawat kecil dengan kapasitas 9 orang. Dalam hal ini, Pemda Agats menyediakan pembiayaan untuk kasus-kasus seperti ini. Persoalaannya adalah banyak masyarakat Asmat yang masih lebih percaya dukun (orang pintar) dari pada berobat ke dokter atau rumah sakit. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya penderita sakit yang tidak tertolong.Alat Transportasi Masyarakat Asmat 
 
3.4 Budaya 
Masyarakat Asmat, seperti halnya, masyarakat suku lain di Papua, menghadapi bahaya krisis budaya dan identitas. Banyak hal yang menyebabkannya, antara lain masuknya agama-agama, kebijakan pemerintah, dan pertemuan dengan budaya modern yang cenderung menekanbahkan menghilangkan budaya lokal.Situasi budaya dan berkesenian di Asmat masih relatiflebih baik dibandingkan di Kabupaten-kabupaten laindi Papua. Pemda Agats dan pihak Gereja Katolik berjuang sangat keras dalam upaya mempertahankan budaya dan kesenian Asmat. Tradisi menari, mengukir, membuat patung, dan menganyam dipertahankan melalui suatu kegiatan rutin tahunan yang diberi nama Festival Budaya Asmat. Festival Budaya Asmat ini mampu menarik perhatian dunia internasional hingga Eropa dan Amerika. Setiap festival berlangsung, turis-turis asing dari Jerman dan Amerika banyak yang datang ke Asmat untuk menyaksikan dan membeli produk budaya Asmat.Gereja dan Pemda juga bekerjasama mendirikan Sekolah Khas Asmat dengan Pola Satu Atap. Di mana sekolah itu dirancang untuk sekaligus mempertahankan dan mengembangkan budaya Asmat dengan 12 subrumpunnya. Di kampung-kampung Asmat, misalnya di Sawa erma dan di Atsj masih banyak kita jumpai laki-laki yang membuat perahu, mengukir panel, membuat patung dan tifa. Sementara para perempuan juga sibuk membuat anyaman maupun noken.Karya Patung AsmatNamun demikian, serbuan pendatang yang memperkenalkan produk-produk budaya moderndan gaya hidup modern secara serius dirasakan mulai melunturkan kesadaran budaya generasi muda Asmat. Di kota kabupaten dan distrik mulai ada banyaksepeda motor listrik, telepon genggam (Hp), televisi, dan makanan modern seperti makanan kaleng dan segalamacam jenis mie bungkus. Tradisi moyang-moyang Asmat dalam budaya dan berkesenian dirasakan mulai melemah sedikit demi sedikit seiring dengan semakin banyaknya pendatang dan pembangunan sarana dan prasarana di Asmat, seperti bank, pasar, toko, bioskop mini, rental komputer, dan sebagainya. 

4. Paradoks di Asmat 
Asmat memerlukan bantuan kemanusiaan untuk kesehatan dan pendidikan. Selama ini yang terjadi adalah para pendatang dan pejabat daerah mengalami kehidupan yang berkelimpahan. Mereka dapat memperolehlayanan kesehatan yang memadai baik di Asmat maupun di daerah lain di Papua. Mereka jugamengalami tingkat kehidupan yang berkelimpahan. Mereka bisa membeli motor boatdan motor listrik, memiliki televisi dengan antena parabola, pergi keluar asmat dengan naik pesawat, menggunakan hand phone, membangun rumah-rumah bagus, memakai baju-baju bagus, sementara penduduk asli Asmat tetap dengan kesederhanaan dan kemiskinannya, serta tergusur menjauh di kampung-kampung di tengah hutandengan pakaian seadanya. Makinterpuruk dari hari ke hari. Berikut ini adalah tulisan yang merupakan jeritan hati seorang anak Asmat, yang baru bisa baca dan tulis.Tanah ini milik siapa, ya? Mengapa kami menjadi orang asing di kampung kamisendiri? Siapa yang harus memperjuangkan nasib kamiini? (Majalah Sekolah SD Satu Atap Asmat, Edisi 2 April2013)Dalam lima tahun terakhir ini Kota di Kabupaten Asmat mengalami kemajuan fisik yang cukup signifikan namun kemajuan itu sangat lambat dirasakan di sebagian besar kampung-kampung Asmat.Apa yang dituliskan oleh seorang siswa SD Satu Atap di Asmat ini membuktikanbahwa anak kecil pun bisa merasakan apa yang terjadi di lingkungan mereka.Verlag (2003)bahkan menuliskan hasil pengamatannya terhadap kondisi masyarakat Asmat sebagai berikut:Orang Asmat memberikan kepada kita peluang yang jarang kita temukan untuk mempelajari kemajuansuatu suku bangsa dari kebudayaan abad batu menyongsong zaman modern berteknologi tinggi dalam waktu beberapa generasi saja, suatu proses yang biasanya memerlukan ribuan tahun untuk mencapainya. 

5.Peran Media Massa untuk Asmat 
Asmat adalah tempat di mana terjadi pertemuan antara budaya meramu dan budaya modern. Sebagian masyarakatnya ada yang mampu menyesuaikan diri atau mengakomodasi, namun sebagian yang lain akan terdesak dan semakin terpuruk. Efek dari situasi ini adalah kecemburuan sosial yang kompleks, baik antar subrumpun di Asmat, antara penduduk Asmat dengan para pendatang, ataupun masyarakat Asmat dengan pemerintah daerah. Seperti halnya di kabupaten lain di Papua, konflik sosial dengan berbagai pemicunya seperti masalah ekonomi, budaya, tanah, politik, SARA, atau masalah sepele karena mabok, dapat merusak keutuhan warga Asmat.Media massa yang memberitakan peristiwa di Asmat (maupun daerah lain di Papua) hendaknya mengambil perspektif menjadi pengarah conflict resolution dan memperjuangkan jurnalisme perdamaiandengan mengutamakan beberapa prinsip yang diusulkan Profesor Johan Galtung, seperti perdamaian, kebenaran, golongan masyarakat, dan penyelesaian konflik lebih diutamakan daripada peran, propaganda, golongan elite, dan kemenangan yang diutamakan (lihat Nurudin, 2009). Media massa jangan berfungsi sebagai issue intensifier, yang getol memunculkan isu dan konflik atau sebaliknya sebagaiconflict diminisher, yang menghilangkan, mereduksi, atau menyamarkan suatu isu atau konflik. Selain itu, media massa harus menyampaikan informasi yang jujur, objektif, sesuai fakta peristiwa secara komprehensif dan berimbang. Jangan hanya karena kendala wilayah di Asmat yang keras dan sulit, akses transportasi dan komunikasi yangminim, serta akomodasi yang terbatas lalu mendorong media massa mengambil jalan pintas yang gampang tanpa konfirmasi dan verifikasi pada masyarakat danlebih percaya pada kelompok eliteyang akses informasinya lebih mudah. Media massa harus memberi dukungan pada warga masyarakat Asmat, yang faktanya terseok-seok menghadapi modernisasi dan tidak siap menghadapi keterbukaan dalam segala bidang. Media massa harus memberitakan tentang Asmat dengan lebih menekankan pada hati nurani. Dengarkan jeritan anak-anakAsmat seperti yang dituliskan dalam bagian awal tulisan ini, Tanah ini milik siapa, ya? Mengapa kami menjadi orang asing di kampung kami sendiri? Siapa yang harus memperjuangkan nasib kami ini?”.Asmat, 5 Juni 2013  

Daftar Pustaka Asmat: Anak Sekolah Menjadi Aktif Terampil. Majalah Sekolah SD dan SMP Satu Atap Berpola Asrama Khas Asmat. Edisi 2 Tahun 2013. Distrik Sawa Erma.Kaspar Manmak. 2008.Foklore: Pada Komunitas Rumpun Bismam, Asmat. Yogyakarta: Bigraf.Linggasari, Dewi. 2008. Wanita Asmat: DimensiPotret Kehidupan. Yogyakarta: Bigraf.Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers.Purnomo, Puji, T. Sarkim., B. Widharyanto., dan Supratiknyo. 2011. Berlayar Ke Timur Mengangkat Pendidikan Sekolah di Asmat. Yogyakarta: Penerbit Sanata Dharma. Setiati, Eni. 2005. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Jogjakarta: Andi offset.Verlag, B., Kunlen. 2003. Mencerap kehidupan dalam Seni. Agats: Museum Asmat.

Komentar

Postingan Populer